B a b a s a l n e w s . c o m _
PULODALAGAN, kini tengah menyusun sejumlah langkah strategis guna menanggapi dugaan pelanggaran batas wilayah oleh seorang pengusaha kelapa sawit. Dugaan ini muncul setelah diketahui bahwa pengusaha yang bersangkutan membuka dan mengelola lahan secara meluas melebihi batas hak kepemilikan yang sah.
Berdasarkan hasil penelusuran awal, diketahui bahwa pengusaha tersebut memperoleh lahan melalui transaksi jual beli dengan empat warga Desa Pulodalagan yang masih memiliki hubungan keluarga, salah satunya merupakan anggota aktif Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Luasan masing-masing lahan yang dijual hanya sekitar 1,5 hektar, dengan total keseluruhan sekitar 6 hektar. Namun dalam praktiknya, pengelolaan lahan oleh pengusaha diduga telah melampaui batas tersebut tanpa dasar hukum yang jelas, dan memasuki wilayah administratif desa, termasuk zona yang secara kultural berada dalam kawasan adat masyarakat Loinang—komunitas lokal yang telah lama mendiami wilayah pedalaman Desa Pulodalagan.
“Yang datang kepada kami sejak awal hanya para pemilik lahan, bukan pihak pembeli. Tidak ada koordinasi maupun permohonan izin kepada pemerintah desa terkait rencana pengelolaan skala besar ini,” ungkap Kades MOH. AHYAR LAODE P
Pemerintah Desa menilai bahwa tindakan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, _melainkan_ telah menyentuh aspek hukum yang serius. Pengelolaan tanah secara sepihak tanpa prosedur yang sah berpotensi bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), khususnya:
- Pasal 6 UUPA yang menegaskan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”Artinya, meskipun seseorang memiliki hak atas tanah, penggunaannya tidak boleh merugikan kepentingan umum atau masyarakat sekitar. Dalam hal ini, pengelolaan lahan yang mengganggu batas desa, merusak keharmonisan sosial, dan berpotensi menghilangkan akses atas tanah desa dan kawasan adat, merupakan bentuk pelanggaran atas prinsip tersebut.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Pemerintah Desa Pulodalagan telah menyusun sejumlah rencana tindakan sebagai berikut:
1. Penerbitan Surat Peringatan Tertulis
Teguran resmi akan dikirimkan kepada pihak pengusaha, menuntut penghentian aktivitas pengelolaan sampai batas dan status hukum tanah dipastikan secara sah.
2. Pengukuran Ulang Batas Wilayah
Pengukuran ulang akan dilakukan bersama Kantor Pertanahan Kabupaten Banggai, dengan melibatkan masyarakat sekitar untuk memastikan kejelasan batas administratif dan kawasan adat yang terdampak.
3. Konsultasi dan Penanganan Hukum
Pemerintah desa akan berkoordinasi dengan Dinas Pertanahan Provinsi Sulawesi Tengah dan Kejaksaan Negeri Banggai untuk menindaklanjuti secara hukum jika ditemukan unsur pelanggaran pidana maupun administrasi pertanahan.
4. Penerapan Sanksi Adat Saluan/Banggai
Mengingat lokasi yang dikelola turut mencakup wilayah yang kental secara adat dan kultural, pemerintah desa juga membuka ruang untuk penjeratan melalui hukum adat Saluan/Banggai apabila disepakati dalam musyawarah bersama tokoh adat dan lembaga masyarakat.
> “Kami tidak akan diam terhadap praktik yang mengancam kedaulatan aset desa, terlebih jika itu merusak struktur sosial dan hukum adat yang telah lama kami junjung. Langkah hukum akan kami tempuh melalui dua jalur: negara dan adat,” tegas Kepala Desa.
Sebagai bentuk transparansi publik, Pemerintah Desa Pulodalagan juga mengundang wartawan dan media lokal untuk menghadiri rapat terbuka desa dalam waktu dekat. Partisipasi media diharapkan menjadi pendorong penyelesaian kasus ini secara akuntabel, sekaligus memperkuat kontrol sosial dalam pelaksanaan tata kelola desa yang bersih dan berwibawa.
---
(Randi)