Babasalnews.com~Apabila dalam proses hukum terdakwa meninggal dunia dan secara nyata telah terjadi kerugian keuangan negara, Jaksa Pengacara Negara dapat melakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.
Meninggal dunianya terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi, maka hak menuntut bagi penuntut umum berakhir demi hukum. Meski begitu, negara masih bisa menempuh upaya lain untuk memulihkan kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus korupsi melalui proses gugatan hukum perdata.
Permasalahan mengenai pemulihan keuangan negara muncul ketika pelaku tindak pidana korupsi meninggal dunia pada saat penyelidikan ataupun pemeriksaan dalam persidangan. Hukum pidana mengatur bahwa kewenangan penuntut umum hilang ketika terdakwa meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHP.
Baca Juga : Polres Banggai Edukasi Keselamatan Lalu Lintas Klik Helm Saat Berkendara
Besarnya Kewenangan Kejaksaan Mesti Dimanfaatkan Secara Benar
Khusus dalam kasus tindak pidana korupsi, berlaku asas lex specialis derogat legi generali yang berarti jika suatu perbuatan masuk dalam kategori aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang aturan yang pidana khusus itulah yang diterapkan.
Kewenangan penuntut umum dalam menuntut pelaku tindak pidana korupsi juga telah diatur khusus pada Pasal 33 jo Pasal 34 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali, maka UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengesampingkan Pasal 77 KUHP.
Pasal 33 jo Pasal 34 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan apabila dalam proses penyidikan atau penuntutan tersangka atau terdakwa meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah terjadi kerugian keuangan negara, maka penyidik atau penuntut umum segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan atau berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.
Gugatan perdata yang dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) kepada ahli waris ini dilandasi asas le mort saisit le vif yang berarti jika seseorang meninggal dunia, maka seketika itu pula segala hak dan kewajibannya beralih pada ahli warisnya.
Apabila dalam proses hukum terdakwa meninggal dunia dan secara nyata telah terjadi kerugian keuangan negara, Jaksa Pengacara Negara dapat melakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.
Peralihan hak dan kewajiban ini memberikan kesempatan kepada negara yang diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara untuk meminta pertanggungjawaban atas pengembalian kerugian keuangan negara kepada para ahli waris.
Jaksa Pengacara Negara harus membuktikan bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan terdakwa, adanya harta benda milik terdakwa yang digunakan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara.
Selain berhak menikmati harta kekayaan yang dimiliki pewaris, para ahli waris juga berkewajiban menyebarkan utang milik pewaris kepada kreditor. Namun, ahli waris memiliki hak menolak menerima harta warisan yang ditinggalkan. Akibat ditolaknya harta warisan, menjadikan ahli waris dianggap tidak menjadi ahli waris. Ahli waris yang telah menolak harta warisan tidak mempunyai hak dan kewajiban terhadap harta warisan yang ditinggalkan.
Negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada ketentuan-ketentuan sebelum berlakunya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau setelah berlakunya undang-undang tersebut.
Gugatan perdata terkait pengembalian kerugian keuangan negara kedudukannya sangat kuat untuk memenuhi rasa keadilan sebagai akibat dari tindakan melawan hukum yang dilakukan terpidana atau ahli warisnya dengan sengaja menyembunyikan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi yang telah merugikan keuangan negara.
(Red_Babasal)